Rabu, 29 April 2015

Krisis Ekonomi Tahun 97, 98 dan Sekarang

BAB I
PENDAHULUAN

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1998 menjadi peristiwa yang tidak terlupakan bagi masyarakat Indonesia. Peristiwa yang telah memporak - porandakan perekonomian Indonesia. Krisis ini menjadi pengalaman terberat dalam perjalanan bangsa Indonesia.  Krisis ekonomi terjadi pada pertengahan tahun 1997 sekitar bulan Juli dan Agustus yang pada saat itu jabatan tertinggi negara dipegang oleh Soeharto. Padaawal tahun 1997 Indonesia masih belum merasakan akan terjadinya krisis. Tingkat Inflasi Indonesia yang dirasa masih pada taraf wajar. Krisis mulai terasa di awal bulan Juli dan Agustus ketika dimulai dengan nilai rupiah yang turun. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998 (Krisis Moneter Indonesia). Penurunan ini juga didorong dengan semakin banyak masyarakat yang membeli dolar. Sehingga permintaan akan dolar pun tinggi yang berakibat semakin lemahnya nilai rupiah terhadap dolar. Masalah pun semakin parah ketika banyak perusahaan swasta yang meninjam dana dari luar. Sehingga mereka harus menghadapi biaya yang sangat besar dalam pembayaran utang tersebut. Hal ini yang memicu banyak perusahaan yang mulai gulung tikar. Krisis moneter yang menimpa Indonesia selama dua tahun ini mulai berubahmenjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi yang disebabkan banyak  perusahaan swasta yang gulung tikar dan berakibat pada para pekerja yang mengganggur (Krisis Moneter Indonesia). Krisis Moneter yang terjadi berdampak kepada segala segi kehidupan politik dan masyarakat. Krisis ini pula yang membawa Presiden Soeharto meninggalkan tahta kepemimpinannya. Kebijakan-kebijakan ekonomi mulai diambil ketika krisis ini mulai muncul. Berbagai langkah kebijakan diambil terfokuskan kepada mengembalikan kestabilan mikro ekonomi dan membangun kembali infrastruktur ekonomi, khususnya dibidang perbankan dan dunia usaha. Kebijakan yang terfokus pada dua hal tersebut tepat untuk diambil seperti yang diketahui krisis moneter yang terjadisudah sangat menyerang perekonomian secara keseluruhan sekaligus menyerang sector-sektor badan usaha. Krisis ini menjadi titik balik perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik. Krisis moneter ini memicu banyak pakar ekonom berpikir keras untuk menemukan kebijakan yang terbaik dalam mengatasi dan mencegah hal ini terjadi dikemudian hari.


BAB II
PEMBAHASAN
     I.            Sejarah
Awal terjadinya berbagai krisis yang muncul di Indonesia adalah adanya devaluasi mata uang Baht oleh pemerintah Thailand pada tanggal 2 Juli 1997 sebagai akibat adanya kegiatan di pasar valuta asing, khususnya dolar Amerika Serikat. Kemudian merambat ke Filipina, Malaysia dan Indonesia.

Pada mulanya kurs dolar Amerika Serikat US$ 1 = Rp 2.400,- menjadi US$ 1 = Rp 3.000,-. Kemudian naik terus (pada bulan Agustus – November  1997) sampai menunjukan angka US$1 = Rp 12.000,-. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia antara lain dengan menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) sampai 30%, dengan harapan menurunkan inflasi. Namun kenyataan dilapangan, bank-bank menaikan leading rate (tingkat suku bunga kredit) karena cost of loanable punds mengalami kenaikkan pada semua bank. Akibat lainnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) juga meningkat tajam, karena bank-bank mengalami kesukaran likuiditasnya. Kondisi ini bahkan meningkatkan laju inflasi dari 11,05% pada tahun 1997 menjadi 77,63% pada tahun 1998.

Krisis nilai tukar / krisis moneter merupakan pemicu awal terjadinya krisis perbankan dan krisis ekonomi pada tahun 1997 diikuti oleh krisis-krisis lainnya, karena kepercayaan masyarakat rendah dengan kondisi sector perbankan yang rapuh. Hal ini terjadi karena kebijakan perbankan yang sangat liberal. Sampai hamper satu decade setelah krisis perbankan masih tetap menjadi bagian dari krisis ekonomi. Kondoso LDR (Loan to Deposit Ratio) perbankan masih rendah. Sepertiga bahkan sampai 40% dana perbankan tidak bisa disalurkan sebagai kredit untuk usaha dan bisnis. Dana perbankan banyak dimainkan untuk investasi bukan disektor riil. Sebagai kebalikan aturan perbankan sebelum krisis, setelah krisis perbankan dijerat dengan berbagai aturan yang sangat ketat, sehingga mengorbankan sector riil. Kondisi sector industry akhirnya juga mengalami kemacetan. Akibat selanjutnya tidak hanya krisis moneter, krisis perbankan dan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, tetapi juga diikuti krisis sosial, krisis kepercayaan dan krisis polotik.

  II.            Krisis Ekonomi Asia pada Tahun 1997 – 1998
Inilah krisis yang tidak akan pernah hilang dari ingatan kita. Sungguh penderitaan yang nyata kita rasakan pada masa-masa krismon 1997. Kata-kata yang masih terus menempel dalam ingatan saya hingga saat ini adalah keluhan dari seorang kerabat yang hidup di bawah garis kemiskinan, “Sekarang kita tidak mampu lagi membeli mi instant.” Jelas mereka yang berpenghasilan Rp5.000,- per hari tak lagi mampu membeli bahan makanan yang cukup untuk empat orang anggota keluarganya, sebab harga mi instant yang biasanya hanya Rp300 tiba-tiba melonjak dahsyat menjadi Rp1.500,- per bungkusnya. Saat itu, tidak hanya orang-orang yang tinggal di Indonesia saja yang merasakan penderitaan akibat krisis ekonomi, tetapi mungkin hampir sebagian besar warga Asia turut tersiksa. Krisis yang bermula dari Thailand ini terus menjalar tak terbendung ke Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia. Sementara negara yang tak terpengaruh dampak krisis Asia secara signifikan adalah Brunei Darussalam, Singapura, dan Republik Rakyat Cina (RRC).
1.    Thailand
Pada tahun 1980-an, perekonomian Thailand berjalan stabil dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 9% per tahun. Stabilnya perekonomian Thailand saat itu mendorong banyak perusahaan swasta di Thailand untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dengan melakukan leveraging, mengajukan kredit usaha besar-besaran ke bank-bank di negara maju seperti Jepang. Karena melihat tren perekonomian Thailand yang stabil secara makro, bank-bank di Jepang dengan sangat mudah mengucurkan kredit tanpa memperhatikan fundamental perusahaan debitur. Artinya, perbankan di Jepang telah mengucurkan kredit Ponzi ke berbagai perusahaan di Thailand. Akhir tahun 1996, tibalah masa jatuh tempo pembayaran utang perusahaan-perusahaan swasta di Thailand. Karena pada saat itu banyak perusahaan yang tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka timbullah ketidakpercayaan di kalangan perbankan Jepang terhadap kapabilitas perusahaan Thailand. Beberapa bank Jepang mempercepat jatuh tempo pembayaran utang. Akibatnya, masa jatuh tempo pelunasan utang terakumulasi dalam periode yang sama. Pada tahun yang sama (1996), hedge fund Amerika Serikat menjual US$400 juta ke Thailand. Awal tahun 1997, nilai mata uang Baht jatuh karena tingginya permintaan terhadap Dollar AS. Perusahaan swasta yang memiliki utang jatuh tempo pada tahun 1997 semakin kesulitan mengembalikan pinjaman karena Baht yang menurun tajam.

Ketidakmampuan perusahaan swasta Thailand dalam memenuhi kewajibannya membuat nilai saham perusahaan-perusahaan itu jatuh. Karena banyak nilai saham perusahaan yang anjlok, secara otomatis membuat pasar modal Thailand anjlok pula hingga 75%. Dimulailah krisis finansial di Thailand pada 2 Juli 1997. Finance One (perusahaan keuangan terbesar di Thailand) ikut mengalami kebangkrutan. Pada 11 Agustus 1997, IMF menawarkan paket “penyelamatan” untuk Thailand dengan menyediakan dana lebih dari US$ 16 milyar. Namun, akhirnya pada 20 Agustus IMF menyetujui pencairan paket "penyelamatan" sebesar US$ 3,9 milyar. Paket “penyelamatan” yang dikucurkan IMF segera menunjukkan aksinya. Bulan Januari 1998, Baht jatuh ke titik terendahnya: 56 Baht per US$, padahal sejak 1985 hingga 2 Juli 1997 Baht dipatok pada harga 25 Baht per US$.

2.    Philipina
Krisis di Thailand membawa pengaruh di Filipina. Bank sentral Filipina menaikkan suku bunga sebesar 1,75 persen pada Mei 1997 dan 2 persen lagi pada 19 Juni 1997. Pada 3 Juli, bank sentral Filipina dipaksa IMF untuk campur tangan besar-besaran dalam menjaga kestabilan Peso Filipina, sehingga harus manut kepada perintah IMF dengan menaikkan suku bunga dari 15 persen ke 24 persen hanya dalam waktu satu malam saja.

3.    Hong Kong
Di Filipina, krisis lalu menjalar ke Hong Kong. Pada 15 Agustus 1997 seperti yang terjadi di Filipina, suku bunga Hong Kong naik dari 8 persen ke 23 persen dalam waktu yang sangat singkat. Pada Oktober 1997, dolar Hong Kong yang sebelumnya dipatok HK$7,8 per USD mendapatkan tekanan spekulatif karena inflasi Hong Kong lebih tinggi dibanding AS selama bertahun-tahun. Pemerintah setempat menghabiskan lebih dari US$ 1 milyar untuk mempertahankan mata uang lokal. Meskipun adanya serangan spekulasi, Hong Kong masih dapat mengatur mata uangnya yang dipatok ke dolar AS. Pasar modal Hong Kong menjadi tak stabil, antara 20 sampai 23 Oktober, Index Hang Seng jatuh hingga 23%.

4.    Korea Selatan
Korea Selatan yang menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-11 dunia, turut menerima imbas krisis Thailand. Meski fundamental ekonomi makro Korsel sangat baik, namun sektor perbankannya dibebani kredit macet luar biasa. Angka Non Performing Loan (NPL) yang sangat tinggi mengakibatkan banyak perusahaan Korsel yang mengalami default, nilai sahamnya jatuh, atau bahkan diakuisisi oleh perusahaan lain. Contohnya pada Juli 1997, Kia Motors yang notabene merupakan produsen mobil terbesar ketiga di Korea, terpaksa meminta pinjaman darurat kepada perbankan. Bursa efek Seoul jatuh sebesar 4% pada 7 November 1997. Sehari kemudian, bursa jatuh kembali hingga mencapai angka 7%, penurunan terbesar sepanjang sejarah negara tersebut. Pada 24 November, pasar modal jatuh lagi hingga 7,2% karena adanya kekhawatiran IMF akan meminta reformasi yang membebani ekonomi Korsel. Peringkat kredit Korea Selatan turun dari A1 ke A3 pada 28 November 1997, dan turun lagi menjadi B2 pada 11 Desember. Pada tahun 1998, Hyundai Motor mengambil alih Kia Motors.

5.    Malaysia
Di Malaysia, negara ini mengalami defisit anggaran hingga 6 persen. Pada bulan Juli 1997, Ringgit Malaysia diserang oleh para spekulator. Untuk menyikapi serangan itu, Pemerintah Malaysia mengambil kebijakan mata uang mengambang (floating exchange rate), tetapi akibatnya justru Ringgit Malaysia anjlok secara drastis pada 17 Agustus 1997. Empat hari kemudian Standard and Poor's menurunkan peringkat utang Malaysia. Seminggu berselang, peringkat Maybank juga ikut turun, padahal Maybank adalah bank terbesar di Malaysia. Di hari yang sama, bursa efek Kuala Lumpur jatuh 856 poin, dan menjadi titik terendahnya sejak 1993. Pada 2 Oktober, Ringgit kembali terjungkal dan membuat Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad harus mengambil kebijakan capital control. Meski demikian, mata uang Ringgit tetap saja jatuh lagi pada akhir 1997 ketika Mahathir Mohamad mengumumkan bahwa pemerintah Malaysia akan menggunakan RM 10 milyar untuk membiayai  proyek jalan, rel, dan saluran pipa. Pada 1998, pengeluaran di berbagai sektor menurun. Sektor konstruksi menyusut 23,5 persen, produksi menyusut 9 persen, dan agrikultur 5,9 persen. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara ini turun 6,2 persen pada 1998. Meski ikut mengalami dampak negatif krisis finansial Asia 1997, Malaysia merupakan negara tercepat yang pulih dari krisis ini karena menolak bantuan IMF

6.    Indonesia
Pada Juni 1997, Indonesia mulai mengalami pengaruh krisis Thailand. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari US$900 juta, cadangan devisa lebih dari US$20 milyar, dan sektor perbankan yang berjalan dengan baik. Namun sayangnya, ternyata banyak perusahaan Indonesia yang meminjam ke luar negeri atau berutang dalam bentuk dolar AS. Pada Juli 1997 saat Thailand mengambangkan nilai tukar Baht, Rupiah mulai menunjukkan tren bearish. Pada 14 Agustus 1997, Pemerintah RI mengganti kebijakan pertukaran mengambang teratur dengan pertukaran mengambang bebas, akibatnya Rupiah terperosok semakin dalam. IMF kemudian datang dengan paket “bantuan” US$23 milyar, tapi tetap saja rupiah semakin anjlok lebih dalam lagi karena adanya pembayaran utang swasta luar negeri yang jatuh tempo, permintaan US$ yang sangat tinggi di pasar, dan penjualan rupiah besar-besaran. Pasar uang dan bursa efek Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September 1997. Moody's menurunkan peringkat utang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond".

7.    Singapura
Ekonomi Singapura berhasil mengatur performa yang relatif sehat dibandingkan dengan negara lain di Asia selama dan setelah krisis finansial, meskipun hubungan erat dan ketergantungan ekonomi regional tetap membawa efek negatif terhadap ekonominya. Tetapi, secara keseluruhan kemampuannya menghilangkan krisis diperhatikan secara luas, dan meningkatkan penelitian kebijakan fiskal Singapura sebagai pelajaran bagi negara tetangganya.
Sebagai ekonomi terbuka,
dolar Singapura terbuka terhadap tekanan spekulatif seperti telah terjadi pada 1985. Ekonomi sangat penting dalam keberlangsungan Singapura sebagai negara merdeka, pemerintah Singapura berhasil mengatur suku pertukaran mata uangnya untuk menghindari potensi penyerangan speklulatif.

8.    Tiongkok daratan
Republik Rakyat Tiongkok tidak terpengaruh oleh krisis ini karena renminbi yang tidak dapat ditukar dan kenyataan bahawa hampir semua investasi luarnya dalam bentuk pabrik dan bukan bidang keamanan. Meskipun RRT telah dan terus memiliki masalah "solvency" parah dalam sistem perbankannya, kebanyakan deposit di bank-bank RRT adalah domestik dan tidak ada pelarian bank.

9.    Amerika Serikat dan Jepang
"Flu Asia" juga memberikan tekanan kepada Amerika Serikat dan Jepang.  Ekonomi mereka tidak hancur, tetapi terpukul kuat. Pada 27 Oktober 1997, Industri Dow Jones jatuh 554-point, atau 7,2 persen, karena kecemasan ekonomi Asia. Bursa Saham New York menunda sementara perdagangan. Krisis ini menuju ke jatuhnya konsumsi dan keyakinan mengeluarkan uang.
Jepang terpengaruh karena ekonominya berperan penting di wilayah Asia. Negara-negara Asia biasanya menjalankan
defisit perdagangan dengan Jepang karena ekonomi Jepang dua kali lebih besar dari negara-negara Asia lainnya bila dijumlahkan, dan tujuh kali lipat RRT. Sekitar 40 persen ekspor Jepang ke Asia. Pertumbuhan nyata GDP melambat di 1997, dari 5 persen ke 1,6 persen dan turun menjadi resesi pada 1998. Krisis Finansial Asia juga menuntun ke kebangkrutan di Jepang.

10. Laos
Laos terpengaruh ringan oleh krisis ini dengan nilai tukar Kip dari 4700 ke 6000 terhadap satu dolar AS.
 
III.            SEBAB KRISIS MONETER 
Krisis moneter yang menimpa Indonesia pada pertengahan tahun 1997 dan mengalami puncaknya ketika memasuki tahun 1998. Krisis moneter lebih pantas disebut krisis ekonomi karena sudah berakibat ke berbagai segi perekonomian Indonesia. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi krisis moneter yang terjadi di Indonesia.Salah satu faktor yang menyebabkan krisis moneter Indonesia menurut Jurnal Akuntansi dan Keungan ’Inflasi di Indonesia’ diawali ketika nilai mata uang Indonesia terdepresiasi terhadap mata uang asing (terutama dolar AS). Penurunan nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS berakibat besar pada perusahaan besar yang banyak meminjam dana dari luar negeri. Hal ini berakibat pada biaya besar yang harus dikeluarkan perusahaan sehingga banyak perusahaan yang gulung tikar dan banyaknya pengangguran.Hal serupa juga diungkapkan dalam Jurnal Akuntansi dan Keuangan ‘Inflasi diIndonesia’ bahwa penurunan nilai mata uang asing (terutama terhadap dolar AS), akibatefek domino dari terdepresiasinya mata uang Thailand (bath) salah satunya mengakibatkan kenaikan harga barang - barang yang diimpor oleh Indonesia. Hal ini mengakibatkan kenaikan berbagai barang - barang impor secara langsung maupun tidak langsung. Kenaikan harga barang - barang di pasaran semakin di perparah dengan banyaknya pengangguran yang terjadi. Krisis moneter ini tidak seluruhnya disebabkan oleh berbagai hal tentang moneter  seperti yang terdapat dalam ‘Krisis Moneter : Sebab, Dampak, Peran IMF, dan Saran’ mengungkapkan bahwa krisis ini juga diperparah dengan berbagai musibah nasional yang terjadi seperti, misalnya kegagalan panen akibat kekeringan, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan, dan berbagai kerusuhan yang terjadi di berbagai wilayah.Krisis ini mulai merambat ke dalam segi masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Kegagalan panen yang berimbas pada semakin mahalnya harga beras sekaligus petani mengalami kerugian besar-besaran. Kebakaran hutan dan kerusuhan yang terjadi dimana- mana memaksa pemerintah membagi pikiran.Akibat fluktuasi akan dollar AS, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997membebaskan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dolar AS (KrisisMoneter Indonesia : Sebab, Dampak, dan Peran IMF). Indonesia yang dulunya menganut system floating managed mengubah menjadi free floating. Dengan sistem baru ini, Bank Indonesia tidak perlu melakukan intervensi atau menyediakan sejumlah dana untuk membantu dalam mengembalikan nilai mata uang rupiah. Perubahan system dari floating managed ke free floating berakibat merosotnya cepat dan tajam dari Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998. Hal ini diakibatkan banyak orang yang bereaksi dengan membeli dollar dan menjual rupiah karena harga dollar yangsemakin melambung. Sehingga permintaan akan dolar lebih banyak dibanding permintaan akan rupiah seperti halnya dalam hukum permintaan dan penawaran dimana ketika penawaran tetap dan permintaan naik maka akan pula menaikkan nilai dari barang tersebut. Hal ini berlaku pula dalam mata uang asing seperti, dollar ini. Hal ini yang semakin memperburuk keadaan dan nilai rupiah turun dengan tajam pada tahun 1998. Namun pada Mei 1999 nilai rupiah kembali membaik.


INDIKATOR UTAMA EKONOMI INDONESIA 1990-1997 

Tabel 1



*Sumber : BPS, Indikator Ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia;World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998 (dalam Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak,Peran IMF)*

Data Indikator Ekonomi Indonesia di atas yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tujuh tahun dari tahun 1990 – 1997. Data diatas terlihat ditahun 1997 pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan yang cukup drastis dan tingkat inflasi yang naik tajam. Menurut ‘Krisis Moneter : Sebab, Dampak, dan Peran IMF’ bahwa krisis ekonomi terjadi bukan hanya karena fundamental ekonomi Indonesia yang lemah, bisa dilihat dari data diatas dimana sebelum tahun 1997 pertumbuhan ekonomi Indonesia berkembang cukup baik. Krisis ini lebih disebabkan karena utang swasta luar negeri yang cukup besar. Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai rupiah yang jatuh tajam. Hal ini akibat dari utang swasta luar negeri yang sudah mulai jatuh tempo dan juga karena serbuan bertubi-tubi akan dollar AS. Jatuh temponya utang swasta luar negeri ini memaksa permintaan akan dollar AS yang tinggi. Jika permintaan akan dollar AS tidak tinggi pada tahun tersebut Indonesia tidak akan mengalami krisis yang berkepanjangan. Menurut Anwar Nasution (Nasution : 28) dalam ‘Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, dan Peran IMF’ bahwa besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistem perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial. Defisitnya neraca berjalan berarti Indonesia banyak melakukan impor barang sedangkan ekspor Indonesia sangat lemah. Ini disebabkan produk-produk Indonesia yang mulai kalah bersaing dengan produk-produk luar negeri,  selain itu perusahaan dalam negeri yang mengalami masalah utang luar negeri mereka yang mulai jatuh tempo berdampak pula pada biaya produksi yang tinggi. Utang luar negeri ini yang menjadi faktor utama terjadinya krisis moneter Indonesia walaupun masih ada faktor lain yang mempengaruhi krisis tersebut. Oleh karena itu, bila ditelusuri lebih jauh menurut para pakar ekonom terjadinya krisis moneter yang paling utama karena utang luar negeri Indonesia walaupun masih ada faktor - faktor lain yang mempengaruhi dan setiap ekonom memiliki pemikiran sendiri - sendiri terhadap faktor lain yang mempengaruhi tersebut.

IV.            FAKTOR PEMICU KRISIS
Diantara sejumlah penjelasan mengenai penyebab krisis, beberapa faktor dinilai sebagai pemicu atau awal mula timbulnya kondisi yang berbahaya sehingga krisis mulai terjadi dan kemudian berlanjut secara berlarut-larut. Penurunan nilai mata uang regional terhadap US dollar, pada tingkat tertentu menggambarkan penyesuaian global nilai tukar valas beberapa negara penting terhadap US dollar, terutama mata uang Yen dan Deutsche Mark yang terjadi sejak 1995. Semakin bertambahnya kerawanan mata uang domestik terhadap goncangan-goncangan dari luar. Ada tiga area yang perlu menjadi perhatian :
(i) Terjadinya penurunan kegiatan export diwilayah ini sejak tahun 1996 membangkitkan kecemasan terhadap defisit rekening berjalan akan semakin buruk sehingga terus menekan nilai mata uang. Penurunan ekspor disebabkan bukan hanya oleh faktor siklikal, tetapi juga oleh faktor struktural yang mengakibatkan penurunan kemampuan bersaing barang-barang ekspor.
(ii) Pembiayaan defisit neraca berjalan juga menambah tingkat risiko regional, karena struktur maturitas aliran modal masuk beralih dari penanaman modal langsung jangka panjang (long term FDI) menjadi aliran dana portofolio dan pinjaman jangka pendek. Akumulasi investasi semacam ini bagi perekonomian domestik sangat berbahaya karena sewaktu-waktu dapat terjadi arus balik.
(iii) Pertambahan pinjaman luar negeri oleh sektor swasta, terutama yang berjangka pendek. Sebelum masa krisis, pinjaman ini dapat terbayar oleh besarnya kemampuan ekspor dan pertumbuhan pendapatan domestik. Selain itu, risiko perubahan nilai tukar valas dapat dikatakan minimal karena selama belum krisis nilai mata uang bertahan stabil.
                  Pada waktu krisis semakin mendalam, perhatian pasar beralih kepada stabilitas sistim perbankan; Kerapuhan sistim perbankan dikawasan ini berkaitan dengan pertumbuhan kredit yang luarbiasa dimana alokasinya banyak cenderung untuk sektor non-perdagangan dan berisiko tinggi, yaitu properti dan pasar saham. Disamping itu terjadi akumulasi pinjaman luar negeri jangka pendek yang digunakan untuk menggerakkan banyak aktivitas ekonomi domestik. Pada waktu kegiatan ekonomi mulai menurun dan tingkat suku bunga domestik melonjak, sektor properti dan perdagangan saham terguncang dan menekan kemampuan pengembalian hutang peminjam domestik, sehingga perbankan terancam mengalami penurunan kualitas asset.
                  Bagaimanapun juga, efek imbasan krisis tidak seluruhnya dapat menjelaskan pergerakan nilai tukar mata uang berbagai negara terhadap US dollar. Kerawanan ekonomi domestik terhadap goncangan dari luar dan kerapuhan sektor perbankan sangat berbeda-beda antar negara di kawasan ini. Perubahan sentimen pasar dan kepercayaan investor juga berperan besar membawa krisis semakin parah. Pada awalnya, kawasan ini menikmati aliran masuk modal besar-besaran selama euforia sedang berlangsung dengan menggeloranya pertumbuhan ekonomi dan pasar aktiva. Prospek adanya perbaikan terus-menerus membawa sikap penilaian risiko yang terlalu rendah, dan kemudian diperkuat lagi oleh persepsi pasar adanya jaminan secara implisit oleh pemerintah. Pada waktu perkembangan berbalik, pasar tiba-tiba mempertimbangkan kembali seluruh situasi ekonomi keuangan di kawasan. Dengan cepat hal ini menyadarkan akan persepsi ancaman yang melonjak, dan langsung merusak sentimen pasar maupun kepercayaan investor. Perilaku "geropyokan" yang semula mendorong aliran modal masuk berbalik menjadi penarikan modal besar-besaran seketika saat krisis berkobar. Semakin parah dalam perkembangan selanjutnya, menjadikan kerawanan pasar finansial seolah lingkaran setan antara kepercayaan dan sentimen buruk, yaitu dengan adanya:
·         Penurunan peringkat kredit oleh agen-agen pemeringkat internasional
·         Ketidak pastian politik mengenai komitmen pelaksanaan kebijakan pemerintah yang drastis untuk menstabilkan kondisi makroekonomi dan reformasi sektor perbankan.
·         Tindakan revisi kebawah oleh analis sektor swasta mengenai prospek jangka pendek-menengah bagi ekonomi regional dan sektor perbankan.
·         Mulai timbul kesulitan pembayaran hutang oleh sebagian perekonomian kawasan

  V.            SEBAB-SEBAB TERJADINYA KRISIS EKONOMI TAHUN 1997-1998

Ada beberepa sebab terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek yang telah menciptakan “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri dibidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut. Pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan terhadap hutang yang dibuat oleh sector swasta Indonesia. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998).  Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.
  2. Banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
  3. Tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
  4. Perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memperbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
  5. Miss government.
  6. Faktor utama yang menyebabkan krisis moneter tahun 1998 yaitu faktor politik. Pada tahun 1998 krisis ekonomi bercampur kepanikan politik luar biasa saat rezim Soeharto hendak tumbang. Begitu sulitnya merobohkan bangunan rezim Soeharto sehingga harus disertai pengorbanan besar berupa kekacauan (chaos) yang mengakibatkan pemilik modal dan investor kabur dari Indonesia. Pelarian modal besar-besaran (flight for safety) karena kepanikan politik ini praktis lebih dahsyat daripada pelarian modal yang dipicu oleh pertimbangan ekonomi semata (flight for quality). Karena itu, rupiah merosot amat drastis dari level semula Rp 2.300 per dollar AS (pertengahan 1997) menjadi level terburuk Rp17.000 per dollar AS (Januari 1998).
  7. Banyaknya utang dalam valas, proyek jangka panjang yang dibiayai dengan utang jangka pendek, proyek berpenghasilan rupiah dibiayai valas, pengambilan kredit perbankan yang jauh melebihi nilai proyeknya, APBN defisit yang tidak efisien dan efektif, devisa hasil ekspor yang disimpan di luar negeri, perbankan yang kurang sehat, jumlah orang miskin dan pengangguran yang relative masih besar, dan seterusnya.
  8. Krisis moneter dimulai dari gejala/kejutan keuangan pada juli 1997, menurunnya nilai tukar rupiah secara tajam terhadap valas, diukur dengan dolar Amerika Serikat yang merupakan pencetus/trigger point. Meskipun tidak ada depresiasi tajam baht(mata uang Thailan), Krismon tetap akan terjadi di Negara tercinta ini. Karena gejolak sosial dan politik Indonesia yang memanas. Oleh karena itu penyebab krismon 98 bisa dikatakan campuran dari unsur-unsur eksternal dan domestik(J. Soedrajad Djiwandono).
  9. Diabaikannya early warning system merupakan penyebab mengapa krismon 97 melanda Inonesia. Adapun early system warningnya adalah: meningkatnya secara tajam deficit transaksi berjalan sehingga pada saat terjadinya krisis, defisit transaksi berjalan Inonesia sebesar 32.5% dari PDB. Utang luar negeri baik pemerintah maupun swasta yang tinggi. Boomingnya sektor properti dan financial yang mengabaikan kebijakan kehati-hatian dalam pemberian kredit perbankan diperuntukan untuk membiayai proyek-proyek besar yang disponsori pemerintah dan tidak semua proyek besar itu visibel. Tata kelola yang buruk(bad governence) dan tingkat transpalasi yang rendah baik sektor publik maupun swasta (Marie Muhamad).
  10. Argument bahwa pasar financial internasional tidak stabil secara inheren yang kemudian mengakibatkan buble ekonomi dan cenderung bergerak liar. Bahkan sejak tahun 1990-an pasar financial lebih tidak stabil lagi. Hal ini dikarenakan tindakan perbankan negara-negara maju menurunkan suku bunga mereka. Sehingga mendorong dana-dana masuk pasar global. Maka pada tahun 1990-an dana asing melonjak dari $9 Miliar menjadi lebih dari $240 Miliar.
  11. Kegagalan manajemen makro ekonomi tercermin dari kombinasi nilai tukar yang kaku dan kebijakan fiskal yang longgar, inflasi yang merupakan hasil dari apresiasi nilai tukar efectif riil, deficit neraca pembayaran dan pelarian modal.
  12. Kelemahan sector financial yang over gradueted, but under regulete dan masalah moral hazar.
  13. Semakin membesarnya cronycapitalism dan sistem politik yang otoriter dan sentralistik(M. Fadhil Hasan). Jika diartikan secara ekonomis teknis, krisis bisa disebut sebagai titik balik pertumbuhan ekonomi yang menjadi merosot.
         Dan penyebabnya jika ditinjau dari teori konjungtur, ada dua karakteristik krisis:

1)             krisis disebabkan tidak sepadannya kenaikan konsumsi ketimbang kenaikan kapasitas produksi atau underconsumption crisis.
2)     Krisis disebabkan terlampau besarnya investasi yang dipicu modal asing karena tabungan nasional sudah lebih dari habis untuk berinvestasi. Krisis seperti ini disebut overinvestment, dan ini yang terjadi di Indonesia (Kwik Kian Gie)


VI.            Dampak Krisis Terhadap Perekonomian Indonesia        

Sejak bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang menimpa dunia khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional Indonesia saat itu masih lemah untuk mampu menghadapi krisis global tersebut. Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain, kurs rupiah terhadap dollar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk membantu bank-bank bermasalah tersebut. Namun kenyataannya terjadi manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI yang murah tersebut. Dampak negatif lainnya adalah kepercayaan internasional terhadap Indonesia menurun, perusahaan milik Negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang akan dan telah jatuh tempo, angka pemutusan hubungan kerja meningkat karena banyak perusahaan yang melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya, kesulitan menutup APBN, biaya sekolah di luar negeri melonjak, laju inflasi yang tinggi, angka kemiskinan meningkat dan persediaan barang nasional, khususnya Sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997. Akibatnya, harga-harga barang naik tidak terkendali dan berarti biaya hidup semakin tinggi. Selain memberi dampak negatif, krisis ekonomi juga membawa dampak positif. Secara umum impor barang, termasuk impor buah menurun tajam, perjalanan ke luar negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri,kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih besar, meningkatkan ekspor khususnya di bidang pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat, dan adanya perbaikan dalam neraca berjalan. Krisis ekonomi juga menciptakan suatu peluang besar bagi Unit Kecil Menengah (UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK), yakni pertumbuhan jumlah unit usaha,jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya tawaran dari IMB untuk melakukan mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor, dan peningkatan pendapatan untuk kelompok menengah ke bawah.Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar dari dampak positifnya.


VII.            KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PERAN IMF DALAM MENGATASI KRISIS
Pada awalnya pemerintah berusaha untuk menangani sendiri masalah krisis ini. Namun setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung sendiri,lebih lagi cadangan dollar AS di BI sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk meningkatkan kembali nilai tukar rupiah, tanggal 8 Oktober1997 pemerintah resmi akan meminta bantuan kepada IMF. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya ialah mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial (Fischer 1998b). Kemudian antara Indonesia dan IMF membuat nota kesepakatan, terdiri atas 50 butir kebijakan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi struktural, yang ditandatangani bersama.
Butir-butir dalam kebijakan fiskal meliputi, tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang, usaha-usaha untuk mengurangi pengeluaran, seperti menghilangkan subsidi BBM dan listrik serta membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar, dan yang terakhir meningkatkan pendapatan pemerintah dengan penangguhan PPN dan fasilitas pajak serta bea cukai, mengenakan pajak tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit PPN dan memperbanyak objek pajak.
Namun kesepakatan itu gagal, karena syarat-syarat dari IMF dirasa berat oleh Indonesia. Maka dari itu dilakukanlah negosiasi dan dihasilkan kesepakatan yang ditandatangani 15 Januari 1998. Pokok-pokok dari program IMF itu antara lain, kebijakan makro ekonomi yang terdiri dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta nilai tukar, kemudian restrukturisasi sektor keuangan yang terdiri dari program restrukturisasi bank dan memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan, dan yang terakhir adalah reformasi structural yang terdiri dari perdagangan luar negeri dan investasi, deregulasi dan swastanisasi, social safety net dan lingkungan hidup.
Pelaksanaan kesepakatan kedua ini kembali menghadapi bebagai hambatan, kemudian diadakan negosiasi ulang yang menghasilkan Supplementary Memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Strategi yang akan dilaksanakan adalah menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia, memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan, memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing, menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta, dan yang terakhir adalah mengembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bangkit kembali.
Sedangkan ke tujuh appendix itu antara lain, kebijakan moneter dan suku bunga, pembangunan sektor perbankan, bantua anggaran pemerintah untuk golongan lemah, reformasi BUMN dan swastanisasi, reformasi structural, restrukturisasi utang swasta, dan hukum kebangkrutan dan reformasi yuridis.

VIII.            Kondisi Perekonomian Semasa Pemerintahan SBY

Kondisi perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan SBY mengalami perkembangan yang sangat baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh pesat di tahun 2010, seiring pemulihan ekonomi dunia pasca krisis global yang terjadi sepanjang 2008 hingga 2009. Terbukti, perekonomian Indonesia mampu bertahan dari ancaman pengaruh krisis ekonomi dan finansial yang terjadi di zona Eropa. Kinerja perekonomian Indonesia akan terus bertambah baik, tapi harus disesuaikan dengan kondisi global yang sedang bergejolak. Ekonomi Indonesia akan terus berkembang, apalagi pasar finansial, walaupun sempat terpengaruh krisis, tetapi telah membuktikan mampu bertahan.
Sementara itu, pemulihan ekonomi global berdampak positif terhadap perkembangan sektor eksternal perekonomian Indonesia. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhasil mendobrak dan menjadi katarsis terhadap kebuntuan tersebut. Korupsi dan kemiskinan tetap menjadi masalah di Indonesia. Namun setelah beberapa tahun berada dalam kepemimpinan nasional yang tidak menentu, SBY telah berhasil menciptakan kestabilan politik dan ekonomi di Indonesia.
Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian Indonesia adalah efektifnya kebijakan pemerintah yang berfokus pada disiplin fiskal yang tinggi dan pengurangan utang Negara. Perkembangan yang terjadi dalam lima tahun terakhir membawa perubahan yang signifikan terhadap persepsi dunia mengenai Indonesia. Namun masalah-masalah besar lain masih tetap ada. Pertama, pertumbuhan makro ekonomi yang pesat belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara menyeluruh. Walaupun Jakarta identik dengan vitalitas ekonominya yang tinggi dan kota-kota besar lain di Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat, masih banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Pada pemerintahan SBY kebijakan yang dilakukan adalah mengurangi subsidi Negara Indonesia, atau menaikkan harga Bahan Bahan Minyak (BBM), kebijakan bantuan langsung tunai kepada rakyat miskin akan tetapi bantuan tersebut diberhentikan sampai pada tangan rakyat atau masyarakat yang membutuhkan, kebijakan menyalurkan bantuan dana BOS kepada sarana pendidikan yang ada di Negara Indonesia. Akan tetapi pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam perekonomian Indonesia terdapat masalah dalam kasus Bank Century yang sampai saat ini belum terselesaikan bahkan sampai mengeluarkan biaya 93 miliar untuk menyelesaikan kasus Bank Century ini.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 5,5-6 persen pada 2010 dan meningkat menjadi 6-6,5 persen pada 2011. Dengan demikian prospek ekonomi Indonesia akan lebih baik dari perkiraan semula.
Tingkat pertumbuhan ekonomi periode 2005-2007 yang dikelola pemerintahan SBY-JK relatif lebih baik dibanding pemerintahan selama era reformasi dan rata-rata pemerintahan Soeharto (1990-1997) yang pertumbuhan ekonominya sekitar 5%. Tetapi, dibanding kinerja Soeharto selama 32 tahun yang pertumbuhan ekonominya sekitar 7%, kinerja pertumbuhan ekonomi SBY-JK masih perlu peningkatan. Pertumbuhan ekonomi era Soeharto tertinggi terjadi pada tahun 1980 dengan angka 9,9%. Rata-rata pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY-JK selama lima tahun menjadi 6,4%, angka yang mendekati target 6,6%
Kebijakan menaikkan harga BBM 1 Oktober 2005, dan sebelumnya Maret 2005, ternyata berimbas pada situasi perekonomian tahun-tahun berikutnya. Pemerintahan SBY-JK memang harus menaikkan harga BBM dalam menghadapi tekanan APBN yang makin berat karena lonjakan harga minyak dunia. Kenaikan harga BBM tersebut telah mendorong tingkat inflasi Oktober 2005 mencapai 8,7% (MoM) yang merupakan puncak tingkat inflasi bulanan selama tahun 2005 dan akhirnya ditutup dengan angka 17,1% per Desember 30, 2005 (YoY). Penyumbang inflasi terbesar adalah kenaikan biaya transportasi lebih 40% dan harga bahan makanan 18%.Core inflation pun naik menjadi 9,4%, yang menunjukkan kebijakan Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang otoritas moneter menjadi tidak sepenuhnya efektif. Inflasi yang mencapai dua digit ini jauh melampaui angka target inflasi APBNP II tahun 2005 sebesar 8,6%. Inflasi sampai bulan Februari 2006 (YoY) masih amat tinggi 17,92%, bandingkan dengan Februari 2005 (YoY) 7,15% atau Februari 2004 (YoY) yang hanya 4,6%.
Efek inflasi tahun 2005 cukup berpengaruh terhadap tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang menjadi referensi suku bunga simpanan di dunia perbankan.


Data Harga Bahan Bakar Minyak 2004 vs 2009 (Naik)
Harga

2004
2009
Catatan
Minyak Mentah Dunia / barel
~ USD 40
~ USD 45
Harga hampir sama
Premium
Rp 1810
Rp 4500
Naik 249%
Minyak Solar
Rp 1890
Rp 4500
Naik 238%
Minyak Tanah
Rp 700
Rp 2500
Naik 370%


Dengan kondisi harga minyak yang sudah turun dibawah USD 50 per barel, namun harga jual premium yang masih Rp 4500 per liter (sedangkan harga ekonomis ~Rp 3800 per liter). Maka sangat ironis bahwa dalam kemiskinan, para supir angkot harus mensubsidi setiap liter premium yang dibelinya kepada pemerintah. Sungguh ironis ditengah kelangkaan minyak tanah, para nelayan turut mensubsidi setiap liter solar yang dibelinya kepada pemerintah. Dalam kesulitan ekonomi global, pemerintah bahkan memperoleh keuntungan Rp 1 triluin dari penjualan premium dan solar kepada rakyatnya sendiri. Inilah sejarah yang tidak dapat dilupakan. Selama lebih 60 tahun merdeka, pemerintah selalu membantu rakyat miskin dengan menjual harga minyak yang lebih ekonomis (dan rendah), namun sekarang sudah tidak lagi rakyatlah yang mensubsidi pemerintah.

Berdasarkan janji kampanye dan usaha untuk merealisasikan kesejahteraan rakyat, pemerintah SBY-JK selama 4 tahun belum mampu memenuhi target janjinya yakni pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6.6%. Sampai tahun 2008, pemerintah SBY-JK hanya mampu meningkatkan pertumbuhan rata-rata 5.9% padahal harga barang dan jasa (inflasi) naik di atas 10.3%. Ini menandakan secara ekonomi makro, pemerintah gagal mensejahterakan rakyat. Tidak ada prestasi yang patut diiklankan oleh Demokrat di bidang ekonomi.


Pertumbuhan
Janji Target
Realisasi
Keterangan
2004
ND
5.1%

2005
5.5%
5.6%
Tercapai
2006
6.1%
5.5%
Tidak tercapai
2007
6.7%
6.3%
Tidak tercapai
2008
7.2%
6.2%
Tidak tercapai
2009
7.6%
~5.0%
Tidak tercapai *


Tingkat Inflasi 2004-2009 (Naik)
Secara umum setiap tahun inflasi akan naik. Namun, pemerintah akan dikatakan berhasil secara makro ekonomi jika tingkat inflasi dibawah angka pertumbuhan ekonomi. Dan faktanya adalah inflasi selama 4 tahun 2 kali lebih besar  dari pertumbuhan ekonomi.


Tingkat Inflasi
Janji Target
Fakta
Catatan Pencapaian
2004

6.4%

2005
7.0%
17.1%
Gagal
2006
5.5%
6.6%
Gagal
2007
5.0%
6.6%
Gagal
2008
4.0%
11.0%
Gagal

Selama 4 tahun pemerintahan, Demokrat yang terus mendukung SBY tidak mampu mengendalikan harga barang dan jasa sesuai dengan janji yang tertuang dalam kampanye dan RPM yakni  rata-rata mengalami inflasi 5.4% (2004-2009) atau 4.9% (2004-2008). Fakta yang terjadi adalah harga barang dan jasa meroket dengan tingkat inflasi rata-rata 10.3% selama periode 2004-2008. Kenaikan harga barang dan jasa melebihi 200% dari target semula.

Jumlah Penduduk Miskin
Sasaran pertama adalah pengurangan kemiskinan dan pengangguran dengan target  berkurangnya persentase penduduk tergolong miskin dari 16,6 persen pada tahun 2004 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009 dan berkurangnya  pengangguran terbuka dari 9,5 persen pada tahun 2003 menjadi 5,1 persen pada tahun 2009.


Penduduk Miskin
Jumlah
Persentase
Catatan
2004
36.1 juta
16.6%

2005
35.1 juta
16.0%
Februari 2005
2006
39.3 juta
17.8%
Maret 2006
2007
37.2 juta
16.6%
Maret 2007
2008
35.0 juta
15.4%
Maret 2008
2009

8.2% ????


Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil mencatat, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla memperbesar utang dalam jumlah sangat besar. Posisi utang tersebut merupakan utang terbesar sepanjang sejarah RI.
Berdasarkan catatan koalisi, utang pemerintah sampai Januari 2009 meningkat 31 persen dalam lima tahun terakhir. Posisi utang pada Desember 2003 sebesar Rp 1.275 triliun. Adapun posisi utang Januari 2009 sebesar Rp 1.667 triliun atau naik Rp 392 triliun. Apabila pada tahun 2004, utang per kapita Indonesia Rp 5,8 juta per kepala, pada Februari 2009 utang per kapita menjadi Rp 7,7 juta per kepala. Memerhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, koalisi menilai rezim sekarang ini adalah rezim anti-subsidi. Hal itu dibuktikan dengan turunnya secara drastis subsidi. Pada tahun 2004 jumah subsidi masih sebesar 6,3 persen dari produk domestik bruto. Namun, sampai 2009, jumlah subsidi untuk kepentingan rakyat tinggal 0,3 persen dari PDB.
Pendidikan merupakan hal mendasar. Pendidikanlah yang menentukan kualitas sumber daya manusia. Kebijakan dalam bidang pendidikan diterapkan oleh kepemimpinan SBY. Beberapa diantaranya adalah meningkatkan anggaran pendidikan menjadi 20% dari keseluruhan APBN. Meneruskan dan mengefektifkan program rehabilitasi gedung sekolah yang sudah dimulai pada periode 2004-2009, sehingga terbangun fasilitas pendidikan yang memadai dan bermutu dengan memperbaiki dan menambah prasarana fisik sekolah, serta penggunaan teknologi informatika dalam proses pengajaran yang akan menunjang proses belajar dan mengajar agar lebih efektif dan berkualitas.
Pemanfaatan alokasi anggaran minimal 20 persen dari APBN untuk memastikan pemantapan pendidikan gratis dan terjangkau untuk pendidikan dasar 9 tahun dan dilanjutkan secara bertahap pada tingkatan pendidikan lanjutan di tingkat SMA. Perbaikan secara fundamental kualitas kurikulum dan penyediaan buku-buku yang berkualitas agar makin mencerdaskan siswa dan membentuk karakter siswa yang beriman, berilmu, kreatif, inovatif, jujur, dedikatif, bertanggung jawab, dan suka bekerja keras. Meneruskan perbaikan kualitas guru, dosen serta peneliti agar menjadi pilar pendidikan yang mencerdaskan bangsa, mampu menciptakan lingkungan yang inovatif, serta mampu menularkan kualitas intelektual yang tinggi, bermutu, dan terus berkembang kepada anak didiknya.
Selain program sertifikasi guru untuk menjaga mutu, juga akan ditingkatkan program pendidikan dan pelatihan bagi para guru termasuk program pendidikan bergelar bagi para guru agar sesuai dengan bidang pelajaran yang diajarkan dan semakin bermutu dalam memberikan pengajaran pada siswa.
Memperbaiki remunerasi guru dan melanjutkan upaya perbaikan penghasilan kepada guru, dosen, dan para peneliti.Memperluas penerapan dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mendukung kinerja penyelenggaraan pembangunan di bidang pendidikan. Mendorong partisipasi masyarakat (terutama orang tua murid) dalam menciptakan kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan aspirasi dan tantangan jaman saat ini dan kedepan.
Mengurangi kesenjangan dalam akses pendidikan dan kualitas pendidikan, baik pada keluarga berpenghasilan rendah maupun daerah yang tertinggal. Pemberiaan program beasiswa serta pelaksanaan dan perluasan Program Keluarga Harapan (PKH), serta memberikan bantuan tunai kepada rumah tangga miskin dengan syarat mereka mengirimkan anaknya ke bangku sekolah.


B.     Keberhasilan SBY selama memerintah pada bidang Ekonomi

  • Saat membuka Rapat Kerja tentang Pelaksanaan Program Pembangunan 2011 di Jakarta Convention Center, Senin (10/1/2011), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan mantap memaparkan 10 capaian (keberhasilan pemerintah pada tahun 2010 tersebut. 
  • Ekonomi terus tumbuh dan berkembang dengan fundamental yang semakin kuat pada 2010. Hal ini, antara lain, tercermin dengan indeks harga saham gabungan Indonesia yang terus membaik, daya saing Indonesia di tingkat dunia yang tinggi, nilai ekspor, investasi, dan cadangan devisa yang terus membaik. 
  •  Sejumlah indikator kesejahteraan rakyat mengalami kemajuan penting. Dunia memberikan penilaian pada Top Ten Movers, istilahnya prestasi Indonesia dan 9 negara yang lain di bidang pendidikan, kesehatan, dan peningkatan penghasilan penduduk kita. 
  • Stabilitas politik terjaga dan kehidupan demokrasi makin berkembang. Check and balances antara pemerintah pusat, DPR dan DPRD, berjalan dengan baik. Pelaksanaan pemilu juga prinsipnya berjalan dengan lancar. 
  • Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, mencatat sejumlah prestasi. Begitu pula dengan pemberantasan terorisme dan narkoba. 
  • Terjaga baiknya keamanan dalam negeri walaupun masih terdapat konflik masyarakat dalam skala kecil 
  • Proses perbaikan iklim investasi dan pelayanan publik di banyak daerah. Hambatan birokrasi dan iklim investasi serta pelayanan publik di banyak daerah mengalami kemajuan. 
  • Angka kemiskinan dan pengangguran terus ditekan meskipun tetap rawan dengan gejolak perekonomian Indonesia. Presiden meminta pemerintah tetap cekatan dan memiliki rencana darurat. “Meskipun, dengarkan kata-kata saya, meskipun bisa kita turunkan kemiskinan dan pengangguran, tetapi tetap rawan terhadap gejolak perekonomian dunia. Jangan terlambat kita mengantisipasinya, jangan kita tidak punya rencana kontigensi, dan jangan pula kita tidak cekatan memecahkan masalah bilamana dampak dari krisis global itu terjadi,” kata Presiden. 
  • Beberapa indikator ekonomi penting Indonesia mencatat rekor baru dalam sejarah, seperti income perkapita sekarang sudah tembus 3 ribu dolar AS, lima tahun lalu masih 1.186 dolar AS. Cadangan devisa dulu 36 miliar dolar AS, sekarang 96 miliar hampir 100 miliar dolar AS. Kenaikan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) yang tertinggi di dunia, naik 46 perssen. Pendapatan domestik bruto kita meningkat dan Indonesia kini peringkat 16 ekonomi di dunia. 
  • Makin baiknya upaya pengembangan koperasi usaha kecil dan menengah, termasuk penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR)Sedangkan Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja Bappenas Rahma Iryanti di Jakarta, Kamis (7/01/2011) mengungkapkan angka pengangguran 2010 diprediksi turun menjadi 7,6 persen dari kisaran 7,87 persen tahun lalu. Penurunan tersebut seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian.
  • Indonesia makin berperan dalam hubungan internasional, makin nyata peran kita, baik dalam mengatasi krisis ekonomi global, dalam hubungan G20, APEC, East Asia Summit, ASEAN, G8 plus, dan pemeliharan perdamaian dunia. “Kita aktif sekali dalam menjaga ketertiban dan perdamaian dunia dan juga kerja sama mengatasi perubahan iklim,” tegas Presiden, sebagaimana dipublikasikan juga di situs resmi Presiden SBY (presidensby.info)

Rahma Iryanti mengatakan, kondisi ketenagakerjaan saat ini sudah menunjukkan perbaikan. Jumlah pengangguran terbuka menurun dari 11,90 juta (11,24 persen) pada 2005 menjadi 8,96 juta (7,87 persen) pada 2009. Sementara kesempatan kerja yang tersedia selama 2005-2009 tumbuh sebesar rata-rata 2,78 persen per tahun atau bertambah 10,91 juta orang. Menurutnya, bertambahnya jumlah kesempatan kerja di 2010 tidak dapat dilepaskan dari kondisi perekonomian yang menunjukkan angka pertumbuhan di atas 6 persen pada periode 2007-2008. Masing-masing sektor ekonomi memiliki tingkat sensitivitas yang berbeda dalam hal serapan tenaga kerja. Disebutkan, antara periode 2005-2009 sektor jasa kemasyarakatan memiliki angka elastisitas yang paling tinggi.
Ditegaskan, sektor yang diharapkan dapat menciptakan kesempatan kerja yang besar adalah dari sektor industri. Karena 60,0 persen tenaga kerja Indonesia berada pada lapangan kerja formal. Perkembangan sektor pekerja formal dari tahun ke tahun tumbuh dengan baik. Misalnya, pada 2005 pekerja di bidang pertanian mencapai 2,9 juta, industri 7,9 juta, dan jasa 17,8 juta orang. Sedangkan pada 2009 mengalami perubahan pada sektor pertanian sebesar 3,2 juta, sektor industri 7,5 juta,dan jasa 21,2 juta. “Saya cukup optimistis tahun ini kita bisa mencapai target pengurangan jumlah pengangguran menjadi 7,6 persen,” katanya.

C.    Penyebab Keberhasilan Presiden SBY

Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian Indonesia adalah efektifnya kebijakan pemerintah yang berfokus pada disiplin fiskal yang tinggi dan pengurangan utang Negara.Perkembangan yang terjadi dalam lima tahun terakhir membawa perubahan yang signifikan terhadap persepsi dunia mengenai Indonesia. Namun masalah-masalah besar lain masih tetap ada. Pertama, pertumbuhan makroekonomi yang pesat belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara menyeluruh. Walaupun Jakarta identik dengan vitalitas ekonominya yang tinggi dan kota-kota besar lain di Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat, masih banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa Indonesia masih memerlukan banyak perbaikan. Namun apa yang telah dicapai selama ini merupakan hasil dari visi dan perencanaan pemerintahan SBY.

IX.            Krisis Ekonomi Masa Pemerintahan  Joko Widodo

Demonstrasi dan protes meruak ke arah Jokowi, sebagian besar pendemo malah  mendesaknya pulang ke Solo karena gagal dan memalukan warga Solo.  Indonesia dibayangi krisis ekonomi warisan  eras SBY ,dan suasananya mirip menjelang krisis moneter 1997, utang swasta saat ini kebanyakan berjangka pendek dan tanpa lindung-nilai. Banyak pula dari utang tersebut dipakai membiayai proyek jangka panjang. Para oligarki kelilingi Jokowi. Sampai menjelang krismon 1997, kinerja lembaga-lembaga keuangan Indonesia sangat kinclong. Asetnya melejit sangat cepat, demikian pula keuntungannya. Para konglomerat pemilik bank pun tampak sangat percaya diri dalam melakukan ekspansi bisnis di segala sektor.

            Ketika itu Indonesia seolah tinggal selangkah menjadi negara makmur. Tapi semua itu mulai berantakan pada Agustus 1997, ketika rupiah mulai terjun bebas terhadap dollar AS. Kredit macet dan harga-harga barang langsung melambung. Rakyat pun mengamuk. Demikian hebatnya amuk rakyat ketika itu, tentara yang biasanya sangat ampuh menghadapi kerusuhan tak berdaya. Akhirnya, ketika kobaran api dan kematian makin merebak di berbagai kota, Suharto menyatakan mundur sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998.

Mirip menjelang Krismon 1997, data BI sampai awal 2015 menunjukkan utang luar negeri swasta lebih besar ketimbang pemerintah, yaitu US$ 192 miliar berbanding US$ 136 miliar. Sama seperti dulu, kebanyakan utang swasta, menurut data BI sekarang, bersifat jangka pendek dan tanpa lindung-nilai.Celakanya, tak sedikit dari utang Valas tersebut dipakai untuk membiayai proyek-proyek berjangka menengah atau panjang. Lebih mengkhawatirkan lagi, hasil dari proyek-proyek tersebut berbentuk rupiah. Salah satu paling berisiko adalah proyek-properti yang belakangan ini menjamur dimana-mana. Hal ini tampak kasatmata dari pembangunan perumahan, mal, superblock, dan sebagainya.Maka, seperti 1997, bila nanti rupiah jeblok berkelanjutan, kredit macet bakal melesat dan banyak proyek berhenti di tengah jalan. PHK massal pun tak terelakkan! Bisa dipastikan, lembaga-lembaga akan mengalami kerugian besar bahkan bisa bangkrut lantaran tak sanggup menanggung kredit macet. Dan pemerintah pun dihadapkan pada dua pilihan: mengambil langkah penyelamatan dengan menalangi kredit macet para kreditor, atau membiarkan kebangkrutan terjadi. Sejak kasus Bank Century, kedua pilihan mengandung resiko berat. Seperti kasus Bank Century, menyelamatkan bisa membuat para pengambil keputusan menjadi bulan-bulanan para politisi, bahkan bisa masuk penjara. Bila memilih keputusan kedua, pada titik ekstrim, dunia keuangan bisa mengalami kebangkrutan massal atau jatuh sepenuhnya ke tangan asing.

            Berdasarkan kasus Bank Century itulah, Ketua umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono, telah berulang kali mengingatkan bahwa UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) harus segera dibuat. Tanpa JPSK, menurut Sigit, ketika terjadi krisis keuangan tak ada pejabat yang berani mengambil keputusan karena takut diadili secara politis dan pidana.

Sigit berharap agar UU JPSK mengatur tentang definisi krisis, siapa yang berhak menentukan telah terjadi krisis, dan apa yang bisa dilakukan oleh Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), atau Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Tapi Sigit tentu juga harus realistis bahwa sekarang ini segala sesuatu bisa dijungkirbalikkan, termasuk pasal-pasal hukum yang tersurat. Kini secara umum lembaga keuangan, baik bank maupun yang non-bank, masih dalam kondisi sehat. Hanya saja, sejumlah isyarat bahaya sudah bermunculan. Salah satunyanya adalah anjloknya laba bank-bank swasta papan atas pada 2014. Laba perbankan swasta dalam Top 10 bank terbesar di Indonesia, tahun lalu turun 7,06% dari Rp 28,12 triliun menjadi Rp 26,13 triliun.

Hanya dua bank swasta yang tahun lalu mengalami kenaikan laba, yaitu BCA dengan perolehan Rp 16,49 triliun atau naik 15,7% dari Rp 14,25 triliun; dan Bank Panin dengan pertumbuhan laba 4,42% dari Rp 2,26 triliun menjadi Rp 2,36 triliun. Bank swasta lainnya, yaitu CIMB Niaga labanya anjlok 59,13% menjadi Rp 2,34 triliun di akhir 2014; Bank Danamon rontok 36% menjadi Rp 2,6 triliun; BII ambles 65% menjadi Rp 752 miliar; dan Bank Permata turun 8,77% menjadi Rp 1,59 triliun.

Dalam Top 10 bank terbesar di Indonesia itu, bank-Bank BUMN memang masih mencetak pertumbuhan laba. Total laba yang dibukukan Mandiri, BRI, BNI dan BTN tahun lalu naik 12,07% menjadi Rp 56 triliun. Dengan rincian, laba BRI naik 14,35% menjadi Rp 24,2 triliun, Mandiri naik 9,34% menjadi Rp 19,9 triliun, BNI naik 19,1% menjadi Rp 10,78 triliun. Satu-satunya bank milik pemerintah yang membukukan penurunan laba adalah BTN , yaitu dari 1,56 triliun menjadi 1,12 triliun atau turun 28,59%. Sementara itu merosotnya harga komoditas seperti minyak sawit, batubara dan minyak telah mendorong OJK untuk mengingatkan para bankir agar waspada terhadap bahaya kredit macet. Dengan alasan, rontoknya harga komoditas-komoditas tersebut berdampak luas terhadap perekonomian nasional. Ini karena minyak kelapa sawit dan batubara adalah komoditas unggulan Indonesia, dan minyak masih merupakan sumber penghasilan penting bagi pemerintah.

OJK tak menginginkan apa yang terjadi pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) merembet ke yang lain. Kemacetan KUR tahun lalu mencapai 4,2%, padahal batas toleransi kredit macet adalah 5%. Kenyataan ini membuat pemerintah memangkas KUR sebanyak 30% menjadi Rp 20 trilliun pada tahun ini. Agar tak kecolongan lagi, pemerintah juga tak lagi menggunakan BPD sebagai penyalur KUR. Sekarang hanya BRI, BNI, dan Mandiri yang diberi kepercayaan menyalurkan KUR .

Selain kerugian yang dialami Bank terjadi juga penurunan nilai mata uang rupiah, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sempat menembus Rp 13.000/US$. Ini merupakan titik terlemah sejak 17 tahun terakhir, alias sejak era krisis ekonomi 1998 (krisis moneter/krismon).

Mulai dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga sejumlah menteri menyatakan, pelemahan rupiah disebabkan oleh faktor eksternal. Terutama karena mulai menguatnya perekonomian Amerika Serikat (AS), setelah dilanda krisis hebat pada 2008 lalu.Kondisi ini membuat dolar AS yang menyebar di negara-negara berkembang ‘pulang kampung’. Sehingga tak hanya rupiah, tapi banyak mata uang di duna yang juga melemah terhadap dolar.Namun analis asing punya pendapat lain soal pelemahan rupiah yang terjadi.

Berikut rangkumannya seperti dikutip:

1.Akibat Pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI)

Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ mengatakan, pelemahan rupiah tidak lepas dari pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo beberapa waktu lalu. Agus sempat menyebut, bahwa tahun ini sepertinya inflasi Indonesia terkendali. Bahkan bukan tidak mungkin. inflasi sepanjang 2014 hanya berada di kisaran 4%.Pasar mengartikan ini sebagai sinyal, bahwa BI akan mulai mengendurkan kebijakan moneter. Salah satunya adalah peluang penurunan suku bunga acuan atau BI Rate.Ketika suku bunga semakin rendah, maka investasi di Indonesia sudah kurang menggiurkan. Akibatnya terjadi arus modal keluar (capital outflow) yang membuat rupiah melemah.“Sepertinya bank sentral mengizinkan rupiah melemah. Ini memicu lebih banyak arus modal keluar,” tutur Goh seperti dikutip dari CNBC.Pada 17 Februari 2015, kala BI memangkas BI Rate dari 7,75% menjadi 7,5%, rupiah melemah sampai 0,56%.

2. Pudarnya Jokowi Effect

Ada faktor lain yang menyebabkan rupiah cenderung melemah. Pelaku pasar saat ini sudah mulai rasional, dan sepertinya euforia terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden, atau sering disebut Jokowi Effect, sudah memudar. “Euforia atas kemenangan Presiden Joko Widodo tidak bertahan lama,” ujar Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ. Pasca pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli 2014, pasar keuangan Indonesia menikmati ‘guyuran’ arus modal masuk (capital inflow). Rupiah pun menguat hingga nyaris 5% selama periode 25 Juni hingga 23 Juli. Setelah itu, rupiah cenderung melemah karena euforia Jokowi Effect sudah terkikis. Apalagi fundamental ekonomi Indonesia masih perlu dibenahi, misalnya defisit transaksi berjalan yang berada di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). “Jadi arus modal masuk itu tidak berkelanjutan,” kata Goh.

3. Dolar Bisa Menyentuh Rp 13.250

Fundamental ekonomi Indonesia masih perlu dibenahi, misalnya defisit transaksi berjalan yang berada di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). “Jadi arus modal masuk itu tidak berkelanjutan,” kata Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ. Tidak hanya dari dalam negeri, rupiah juga tertekan faktor eksternal karena dolar AS begitu ‘perkasa’ terhadap mata uang dunia. Ini ditunjukkan dengan Dollar Index (perbandingan dolar AS dengan mata uang utama dunia) yang mencapai titik tertinggi dalam 12 tahun terakhir. Oleh karena itu, Goh memperkirakan rupiah masih bisa melemah lagi. Dia menilai pada akhir tahun rupiah akan berada di posisi Rp 13.250/US$



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
Krisis Moneter yang dialami Indonesia pada pertengahan tahun 1997 sampai akhir tahun1998 yang berdampak pada lemahnya perekonomian Indonesia. Faktor utama penyebab krisis monter ini adalah turunnya nilai tukar rupiah atas dollar AS. Faktor lain yang menjadi pemicunya adalah tingkat utang perusahaan swasta yang tinggi dan sudah mulai jatuh tempo pada tahun-tahun tersebut, hal ini diperparah dengan berbagai musibahnasional yang terjadi seperti Krisis Monter yang membawa dampak besar bagi seluruhsegi kehidupan Indonesia yaitu :
a)      Segi Ekonomi :
Inflasi tinggi
Banyaknya perusahaan yang tutup akibat utang luar negeri merekayang membengkak 
Pengangguran tinggi
Rendahnya tingkat investasi dan tabungan masyarakat 

b)      Segi Sosial Politik 
Banyak kerusuhan dimana-mana akibat rasa ketidakpercayaanmasyarakat terhadap kepemimpinan presiden
Turunnya Soeharto sebagai presiden
Banyak rakyat miskin

Dampak dari Krisis Moneter tersebut salah satunya adalah tingkat inflasi yangtinggi dan pengangguran yang tinggi pula. Kedua hal tersebut bila dihubungkan menurutilmu makro ekonomi tidak cocok. Karena tingginya tingkat inflasi berhubungan negativedengan tingkat pengangguran. Semakin tinggi tingkat inflasi maka semakin turun tingkat pengangguran tersebut. Bila dikaji lebih lanjut hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagaikonsep utama. Jadi, hubungan antara keduanya bergantung pada faktor penyebab terjadinya tingkat inflasi dan pengangguran tersebut.
Kondisi perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan SBY mengalami perkembangan yang sangat baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh pesat di tahun 2010, seiring  pemulihan ekonomi dunia pasca krisis global yang terjadi sepanjang 2008 hingga 2009. Terbukti, perekonomian Indonesia mampu bertahan dari ancaman pengaruh krisis ekonomi dan finansial yang terjadi di zona Eropa.
Sedangkan pada masa pemerintahan Jokowi, Indonesia banyak memiliki permasalahan ekonomi, seperti kasus Bank Century dan Dollar yang mencapai Rp.13.250. Akibatnya, semua harga mengalami kenaikan.



Referensi: